Kali ini, kita simak pengakuan tiga tokoh hebat di negeri ini. Puluhan juta orang menjadikan mereka sebagai sumber inspirasi.
Tokoh hebat yang pertama mengaku, "Bayangkan, 40 tahun lalu ada seorang ibu yang berpikir anaknya harus kuliah. Padahal dia sendiri lulusan SMP dan nggak ngerti Bahasa Inggris. Ibu bilang, makan sederhana nggak masalah, yang penting harus sekolah. Ibu saya pernah diam-diam menjual batik halus kesayangannya demi membiayai kuliah saya. Begitu tahu, saya pun berjanji dalam hati untuk tidak lagi membebani orangtua dengan belajar sungguh-sungguh dan berusaha mencari penghasilan sendiri." Dia menilai pengorbanan ibunya luar biasa. Di lingkungan tempat tinggalnya hanya keluarganyalah yang berhasil memutus mata rantai kemiskinan. Dan ini tak terlepas dari faktor pendidikan yang ditekankan oleh ibunya. Baginya, ibu adalah kunci sukses.
Di kesempatan lain, ibunya ingin pergi berhaji, di mana saat itu ia sudah menjadi pengusaha dan lumayan sibuk. Membiayai ibu berhaji bukanlah perkara sulit baginya. Namun, siapa yang akan menemani ibu berhaji? Sebenarnya bisa saja ia meminta orang kepercayaan atau saudara untuk menemani ibu, namun akhirnya ia lebih mengikuti suara hatinya untuk menemani ibu. Hasilnya, selama di Makkah dia memetik berbagai hikmah dan pengalaman yang membuat cintanya kepada ibu semakin besar. Maka dia pun menyimpulkan, menemani ibu berhaji adalah keputusan yang tepat bahkan merupakan amanah.
Pengakuan tokoh hebat yang kedua, “Saat itu, ibu tahu saya tidak punya uang. Maka pagi-pagi sekali ia diam-diam menyisipkan amplop berisi uang ke dalam tas saya. Walaupun saya tidak meminta, orangtua saya tahu anaknya tidak punya uang. Dan itulah yang menjadi motivasi utama saya untuk menjadi pengusaha. Agar saya lekas mandiri, tidak menumpang di rumah orangtua, dan bisa membeli susu buat anak-anak saya.” Di kesempatan lain ia mengungkapkan, “Salah satu kunci keberhasilan pengusaha adalah bagaimana mengelola keluarga, tidak hanya mengelola usaha. Jangan pernah melupakan ibu dan keluarga. Bagi saya, ibu merupakan tokoh sentral dalam kehidupan saya, di mana saya belajar disiplin dan kerja keras. Dan tanpa doa ibu, mustahil perusahaan kami bisa tumbuh hingga 15 tahun.”
Pengakuan tokoh hebat yang ketiga, “Ibuku adalah guru abadiku. Setiap bertemu, ia selalu menyapaku dengan dua kalimat. Sudah makan? Sudah sholat? Doanya adalah benteng batin yang selalu melindungiku. Pangkuannya adalah tempat curahan hatiku. Wajahnya yang teduh selalu menyemangatiku. Doa-doa malamnya ternyata mengantarkanku ke tempat-tempat dan mimpi-mimpi yang dahulu aku anggap tak mungkin.”
Ketiga tokoh hebat itu adalah Chairul Tanjung, Sandiaga Uno, dan Ridwan Kamil. Bagaikan dikomando, mereka bertiga serentak mematuhi perintah Nabi Muhammad 14 abad yang lalu, “Ibumu, ibumu, ibumu.” Ternyata, ketiga tokoh hebat tersebut mengakui peranan tokoh lain yang jauh lebih hebat. Siapakah itu? Yah, siapa lagi kalau bukan sang ibu.
Terakhir izinkan juga saya memperkenalkan om saya, Tono Suratman. Sempat menjadi mayjen yang dihormati di Indonesia dan menjadi legend yang disegani di Kopassus, kemudian ia dipercaya untuk memimpin KONI. Saya memanggilnya om, karena memang om saya. Ia juara anggar dan menembak. Orangnya santun. Menariknya, ia sangat hormat dan taat sama ibunya. Di dompetnya tersimpan foto ibunya, sebagai pengingat (Walaupun beda keyakinan sama saya, namun ia sangat toleran. Ketika lebaran, ia selalu ngumpul bareng keluarga besar yang muslim.)
Ujung-ujungnya saya pun menyimpulkan, mereka yang hormat dan taat sama ibunya, akan dikaruniai kemudahan-kemudahan yang menakjubkan. Sayangnya, dalam keseharian kita sering lalai dan abai. Padahal, saat kita beroleh kemudahan demi kemudahan, bukan mustahil itu karena Yang Maha Kuasa telah mengabulkan doa orangtua kita. Semoga kita semua dimampukan untuk berbakti kepada orangtua kita. Aamiin. Doakan saya, doakan juga para pembaca blog ini.
Ditulis oleh Ippho Santosa.